Latar Belakang Berdirinya Sarekat Islam

Pada masa kolonial penguasaan sumber daya di Indonesia dikuasai oleh pemilik modal asing, hal ini merupakan praktik dari sistem imperialisme modern Barat. Saat itu, Nusantara dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi industri pemerintah kolonial.

sarekat Islam
Haji Samanhoedi
Salah satu saudagar pribumi yakni Haji Samanhoedi (1868-1956), segera memberikan respon cepat atas kebijakan ekonomi pemerintah kolonial, yaitu dengan mendirikan Organisasi Syarikat Dagang Islam (SDI), 16 Oktober 1905 di Surakarta. Informasi berdirinya SDI segera disebarluaskan melalui buletin Taman Pewarta (1902-1915).

Pemerintah kolonial Belanda menilai berdirinya SDI, sebagai ancaman besar bagi eksistensi dan perkembangan ekonomi Belanda di Indonesia. Ditambah SDI berusaha melakukan kerjasama dengan organisasi niaga Cina, bernama Kong Sing. Oleh karena itu pemerintah Belanda merasa perlu mendirikan organisasi tandingan.

Pendirian SDI merupakan lambang awal dari suatu keberhasilan gerakan pembaharuan sistem organisasi Islam. Hal ini karena suatu pembaharuan memerlukan ketangguhan organisasi dan kontuinitas perolehan dana. Pada saat kongres pertama Sarekat Dagang Islam digelar di Solo tahun 1906, nama Sarekat Dagang Islam diganti menjadi Sarekat Islam (SI),

Kebijakan Haji Samanhodi di dalam SI sangat strategis, gerakan ini memiliki basis operasi kegiatan di pasar. Di pasar, SI dapat memperoleh dana untuk kelanjutan gerakannya. Dengan membawa Islam pada nama organisasi, Syarekat Dagang Islam dapat memperoleh tempat di hati masyarakat luas.

Di tengah kondisi kebangkitan ulama melalui aktivitas pasar, pemerintah kolonial Belanda berupaya mendirikan organisasi tandingan. Pemerintah kolonial mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah, pada tahun 1909 M di Bogor. Sarekat Dagang Islamiyah dipimpin oleh R.M.T Adhisoerjo (1830-1919 M). Selain itu Adhisoerjo juga merupakan pimpinan redaksi Medan Prijaji, dan anggota Boedi Oetomo Afdeeling II di Bandung.

Berbeda dengan SI Haji Samanhoedi, SDI Adhisoerjo sangat lah dekat dengan pemerintah kolonial. Hal ini dapat dilihat dari ketegantungan mereka terhadap dana dan perlindungan dari pemerintah kolonial.

Meskipun demikian, SDI dan media Adhisoerjo tetap tidak dapat menyaingi SDI Haji Samanhoedi. Adhisoerjo sendiri memilih untuk melanjukan usahanya, dan menyerahkan kepemimpinannya kepada Haji Samanhoedi dan membubarkan Syarekat Dagang Islamiyah pada 1911 M.

Pada periode revolusi Cina 1911, pemerintah Belanda memandang eksistensi SI dan rekannya, Kong Sing, dinilai semakin membahayakan kepentingan mereka. Dikhawatirkan akan terjadi pengulangan sejarah, yakni terbentuknya kerjasama Cina Batavia dengan Soenan Mas. Oleh karena itu, Pemerintah Belanda berusaha mengadu domba SDI dan saudagar Cina.

Pertama, mereka menumbuhkan perpecahan dengan cara mempersulit produsen batik pribumi memperoleh bahan batik. Perlu diketahui, sejak tahun 1892 M, hak monopoli sandang diberikan pemerintah kolonial ke saudagar Cina.

Dengan dipersulitnya bahan-bahan tersebut, pemerintah Belanda menyebarkan berita bahwa kelangkaan bahan batik akibat ulah dari pedagang Cina. Namun, usaha ini sia-sia, karena hubungan pribumi dan Cina justru semakin erat, menyusul kesepakatan kerjasama untuk saling membantu antar SI dan Kong Sing bila terjadi penindasan dari pemerintah kolonial.

Gagalnya usaha provokasi mereka yang pertama, maka ditempulah cara kedua. Pemerintah kolonial menciptakan gerakan huru-hara anti Cina. Untuk itu digunakan lah Laskar Mangkunegara guna memprovokai rakyat agar merusak toko-toko Cina. Provokasi ini menimbulkan kerusuhan di Surakarta dan kota-kota Lain. Meskipun demikian usaha tersebut lagi-lagi gagal, setelah rakyat mengetahui bahwa pelaku perusak toko-toko adalah Lakar Mangkunegara. Aktivitas pasar pun kembali seperti sedia kala.

Pada Maret 1912, pemerintah kolonial melihat pergerakan Sarekat Islam di Surabaya. Bulan Mei 1912, tiga orang propagandis Sarekat Islam datang ke rumah Tjokroaminoto untuk berdiskusi. Dari hasil dikusi mereka, Tjokroaminoto bersedia menjadi pimpinan Sarekat Islam.

Peristiwa tersebut mendapat perhatian dari pengurus Sarekat Islam di Surakarta. Tjokroaminoto pun diundang agar bersedia hadir di Surakarta. Pada saat kehadirannya di Surakarta, 13 Mei 1912, Tjokroaminoto mendapat amanah kehormatan, memegang kepemimpinan Sarekat Islam yang sebelumnya dijabat oleh Haji Samanhoedi.

Pergantian tampuk kepemimpinan Sarekat Islam dimanfaatkan Belanda, untuk kembali mengadu domba rakyat. Laskar Mangkunegara kembali dimanfaatkan untuk menciptakan huru-hara anti Cina, pada Juli 1912. Kemudian diikuti keputusan menjatuhkan skorsing kepada Sarekat Islam.

Dengan adanya skorsing, muncul reaksi perlawanan. Para petani anggota Sarekat Islam melakukan aksi mogok kerja di onderming Krapyak Surakarta. Residen Surakarta kemudian sadar, jika skorsing diperpanjang akan menimbulkan kerusuhan yang tidak terkendali. Oleh karena itu, mereka segera mencabut skorsing pada 26 Agustus 1912.

Bagikan info ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *