Subur,S.Pd, MM Ketua YPI Cokroaminoto Cab. Banjarnegara
SoluSI.info – Pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa: pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, pemerataan mutu dan relevansi serta evisiensi magement pendidikan. Pemerataan kesempatan pendidikan diwujudkan dalam program program wajib belajar 9 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan wajib belajar pendidikan 12 tahun. Sebagai wujud keseriusan pemerintah mewujudkan amanah Undang Undang Sisdiknas tersebut diluncurkan berbagai kebijakan antara lain; Pembangunan RKB (Ruang Kelas Baru) dan USB (unit sekolah baru), SMP Satu Atap dan SMP Terbuka, PKBM di pondok pesantren salaf di semua pelosok negeri yang semuanya dimaksudkan untuk menambah daya tampung sehingga diharapkan setiap anak usia sekolah memiliki kesempatan yang sama dalam pelayanan pendidikan. Untuk memastikan semua anak usia sekolah dapat terlayani pendidikannya (education for all) dikeluarkanlah kebijakan Bantuan Operasional Sekolah/Madrasah (BOS), Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Indonesia Pintar (PIP).
Kebijakan pemerintah di bidang pendidikan yang pada awalnya bagus seiring perjalanan waktu memunculkan permasalahan keberlangsungan suatu sekolah/madrasah karena hanya karena pelaksanaan program tidak dibarengi study kelayakan demografi dengan geografi sehingga perbandingan ketersediaan jumlah ruang kelas baru tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah anak usia sekolah. Permasalahan tersebut tampak jelas tiap awal tahun pelajaran baru ketika sekolah/ madrasah negeri maupun swasta tertentu harus rela dire-gruping atau bahkan gulung tikar untuk sekolah/madrasah swasta karena pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tidak memenuhi kuota. Bagi kepala sekolah, guru dan tenaga kependidikan di sekolah negeri mungkin bukan merupakan permasalahan serius, namun ketika itu terjadi pada sekolah/madrasah swasta akan menjadi problema yang sulit terpecahkan.
Di tengah-tengah persaingan lembaga pendidikan lembaga pendidikan yang sangat ketat seperti sekarang lembaga pendidikan terutama swasta seharusnya tidak tabu lagi untuk menghadirkan (meniru) konsep dan pola manajemen pengelolaan yang dianut pada sebuah perusahaan. Kepala Madrasah/Sekolah sebagai seorang manajer sudah saatnya memposisikan dirinya menjadi Chief Executife Officer (CEO), yang memiliki tanggungjawab membentuk Partner institutions dan daughter institutions yang beroperasi sebagai Strategic Business Unit (SBU), karena konsep bisnis apapun yang sukses di dunia selalu bertumpu pada kualitas yang muaranya pada kepuasan pelanggan (Customer satisfaction). Mereka menyadari bahwa perusahaan akan dapat bertahan hidup, bila produk yang mereka hasilkan/buat tidak hanya laku dipasaran, namun mampu menciptakan Brand Quality, yang pada gilirannya akan tercipta Brand Image. Dengan demikian diharapkan produk yang dihasilkan akan tetap mendapat tempat di hati masyarakat sepanjang masa. Maka ketika bidang riset pasar, marketing dan promosi menjadi tulang punggung perusahaan untuk terus memonitor trend yang sedang berkembang di masyarakat, dengan tujuan perusahaan agar dapat mengarahkan produknya sesuai dengan minat dan selera pasar. Tidak hanya itu, untuk lebih memantapkan pilihan customer , perusahaan harus sanggup memberi jaminan (garansi) dan pelayanan purna jual bila terjadi sesuatu terhadap barang yang telah dibeli.
Permasalahannya sekarang adalah pada kesiapan dan keberanian masing-masing (steak holder) pengelola lembaga pendidikan khususnya swasta untuk merubah pemahaman lama terhadap pola dan manjemen business yang cenderung diterjemahkan sebagai usaha dengan menghalalkan segala cara untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa memikirkan kualitas. Tidak sedikit para pelaku pendidikan masih merasa tabu untuk menerapkan majemen busines di sekolah mereka masih besikukuh bahwa pendidikan adalah lembaga sosil yang nir laba, walaupun pada saat tertentu terjadi transaksi jual beli ketika rapat pleno komite setiap awal tahun. Di era keterbukaan informasi seperti saat ini pola manjemen business seperti itu sudah lama ia tinggalkan apalagi ketika ketika pasar telah benar-benar bebas maka Customer benar benar diperlakukan sebagai raja yang diberi kebebasan penuh untuk memilih produk terbaik, harga yang kompetitif dan kemudahan yang ia dapatkan ketika memutuskan membeli suatu produk tertentu.
Di era masyarakat digital 5.0 perubahan adalah keniscayaan ketika sebuah tak terkecuali institusi pendidikan swasta yang hidup dan matinya sangat bergantung dengan kepercayaan masyarakat maka saatnya institusi pendidikan di kelola atau di manag bak sebuah institusi bisnis/industri.Dalam suatu bisnis yang baik harus mampu menghasilkan produk yang baik pula, tanggap terhadap berbagai perubahan teknologi, pasar, harga yang kompetitif dan keuntungan (profit). Celakanya kata profit di dunia pendidikan masih dianggap suatu kata yang tabu, karena pelaku pendidikan masih menganggap pendidikan adalah neer-laba walaupun pada prakteknya terjadi setiap tahun ajaran baru sekolah/madrasah mengundang wali murid untuk tawar menawar beban biaya yang harus di tanggung pada tahun berjalan, padahal kata profit bermakna pertumbuhan dan perkembangan. Namun demikian sebagian besar para pemangku kebijakan institusi pendidikan masih tetap menganggap model manajemen yang berangkat dari dunia business tetap dicurigai dan diinterpretasikan secara dangkal dan kharfiah sebagai komersialisasi pendidikan lebih lebih ketika di kaitkan dengan visi dan misi serta tujuan mulia pendidikan. Maka kemudian muncullah gap bahkan benturan yang tajam antara idealisme dan pragmatisme.
Bahwa business yang baik tidak bisa dilepaskan dengan kualitas yang pada prakteknya dapat dibedakan menjadi dua (2). Pertama kualitas penerimaan yakni bagaimana pihak pemberi jasa berusaha memberi kesan baik, hangat dan bersahabat dalam usaha membawa masuk calon costumer kedalam bentuk jasa yang ditawarkan. Kedua kualitas proses pelayanan yakni pemilik jasa benar benar memberikan pelayanan jasa yang sebaik-baiknya kepada costumer. Ketika kedua permasalahan tersebut tidak diperhatikan maka ada dua kemungkinan pertama costumer akan pergi setelah mengetahui kenyataan. Kedua mungkin masih tetap ada costiumer yang datang namun berasal dari segmen price-oriented. Segmen seperti ini tidak begitu peduli dengan kualitas, kehadiran mereka hanya sekedar membeli harga.
Belakangan ini ada kecenderungan lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta mengalami jumlah penyusutan jumlah murid cukup signifikan sehingga memaksa beberapa sekolah/madrasah harus di ree-grouping dengan sekolah/madrasah lain bahkan harus terpaksa menutup operasional sekolah/madrasah yang bersangkutan. Kondisi yang sangat menyedihkan tersebut mungkin diawali dari kecerobohan mereka dalam merespon setiap calon custumer yang datang.Tidak jarang terjadi lembaga jasa melakukan praktek praktek yang tidak mengenakan berupa sikap dan perilaku yang menyakitkan yang dilakukan pihak institusi terhadap pengguna jasa (siswa dan wali murid). Padahal dua aspek tersebut merupakan aset yang seharusnya dijaga betul oleh setiap institusi lembaga pendidikan, karena tanpa kehadiran mereka di sekolah/madrasah tidak akan terjadi proses pembelajaran. Ketika custumer merasa tidak terlayani ada kecenderungan mereka akan pindah ke intitusi lain dengan menceritakan kekecewaan terhadap orang lain dari mulut ke mulut dan ketika ini terjadi akan menjadi mutiple effect yang akan terasa pada tahun-tahun berikutnya pamor sekolah mulai redup, seiring hilangnya kepercayaan dan simpati masyarakat terhadap institusi.
Ketika institusi sekolah/madrasah mampu melayani siswa dan orang tua wali sebagai custumer dengan sebaik-baiknya, maka lembaga pendidikan telah bergeser fungsi tidak lagi hanya sebagai product business tapi telah berubah menjadi service business yang lambat laun institusi tersebut memiliki sikap the best service dengan motto “Keep Smilling to make everithing smoothly”
(Subur, S.Pd, MM – Ketua YPI Cokroaminoto Cab. Banjarnegara )