
JAKARTA, SoluSI.info – Brankas selalu digunakan oleh orang untuk menyimpan barang berharga, Orang merasa nyaman jika benda-benda yang disimpannya dianggap aman atau setidaknya lebih percaya dan memberi keyakinan bahwa benda tersebut terjaga.
Saya ingin menganologikan brankas sama seperti halnya dengan kita
menyekolahkan anak di sekolah berbayar mahal. Karena orang tua merasa nyaman, percaya dan yakin terhadap apa yang „dititipkan‟. Selanjutnya saya mengindentifikas atau memberikan labelling sekolah mahal.
Atas dasar percaya dan yakin melepaskan anak di sekolah mahal dengan
asumsi benefit yang didapat mumpuni secara kualitatif dengan tawaran program
pendidikan terbaik dan fasilitas memadai, misalnya sekolah berlabel internasional. Salahkah atau ada yang salah? Bagi yang berpandangan sekolah sebatas delivery of knowledge tentu tidak, namun jika sekolah sebagai pergumulan delivery of value perlu berpikir bijak dan kritis ketika sekolah sesungguhnya abai terhadap sebuah proses pendidikan.
Pertumbuhan sekolah mahal berlabel internasional sejak satu dasawarsa
cukup signifikan terhadap minat orang tua untuk menyekolahkan anaknya disini.
Sekolah internasional yang berada di pusat kota bisa jadi merupakan pilihan untuk
menaikan prestige semata. Sehingga sekolah bukan lagi menjadi perwujudan
kantong kebudayaan melainkan bagian dari life style.
Tentang Sekolah Berbiaya Mahal
Pertama, kesadaran empati. Sekolah berbiaya mahal memiliki entitas sosial
ekonomi mapan, mereka berasal dari kalangan kelas menengah atas dengan hidup
berkecukupan. Ruang interaksi sosial yang terbangun pada tataran pencapaian
gaya hidup dan prestasi akademik. Sangat sulit ditemukan kasus terhadap siswa
yang membutuhkan pertolongan secara ekonomi misalnya mentraktir makan di
kantin dikarenakan orang tuanya tidak memberikan uang saku untuk jajan.
Sisi lain pihak sekolah tentu memiliki program budi pekerti (character building)
bagi siswanya seperti saling mencintai, menghormati (toleransi) dan menghargai.
Saya melihat bahwa proses ajar budi pekerti tersebut belum mampu menumbuhkan
empati walau sesekali sekolah memiliki program charity. Seorang ahli pendidikan,
Vigotsky pernah mengatakan “proses pembelajaran anak berlangsung dalam zona
perkembangan proksimal”. Ini artinya potensi anak akan berkembang melalui proses
aktifitas yang beragam dan terkordinasi. Disamping itu analisis psikologis dan
pedagogis dalam ruang entitas yang sama sangatlah sulit menumbuhkan empati
secara organik. Sistem pendidikan yang baik mengajarkan individu terlibat interaksi
sosial beragam secara terus menerus bukan dibentuk dalam suatu ruang sewaktuwaktu.
Kedua, Sekolah satu-satunya penyedia fasilitas belajar. Kewajiban siswa
untuk membayar mahal membawa konsekuensi logis pihak sekolah menyediakan
fasilitas pendidikan dalam proses belajar mengajar. Sekolah mahal sudah
menjadikan dirinya sebagai store penyedia sumber ilmu pengetahuan. Ketatnya jam
belajar ditambah ketersediaan ruang observasi dan di anggap paling do the best
dalam urusan tematik dan vokasi dalam ranah ilmu pengetahuan, menjadikan
sekolah dengan gedungnya seolah sudah menutup diri sehingga di luar gedung
sekolah siswa sudah tidak memiliki ruang waktu sebagai tempat belajar dan menilai
dari proses mengalami pembelajaran (learning experience).
Ketiga, Jam belajar yang panjang. Sekolah berbiaya mahal biasanya
menerapkan jam belajar yang panjang tentu ada masa jeda yang diberikan kepada
siswanya untuk menikmati snack time. Hal ini juga yang menjadi ketertarikan orang
tua siswa bak gayung bersambut. Karena kesibukan dan padatnya jam kantor
mempercayakan sekolah sebagai tempat „penitipan‟ anak agar berlama-lama di
sekolah.
Padahal ruang untuk menyelami dari proses mengalami belajar (learning
experience) justru lebih banyak dijumpai di luar sekolah. Misalnya menumbuhkan
siswa memiliki sense terhadap persoalan pencemaran polusi udara. Mereka (para
siswa) bisa merasakan dan ketertarikan dalam pelibatan individu untuk berperan
mengatasi persoalan pencemaran polusi udara dengan menanam pohon. Dari
observasinya tentu pilihan pohon yang ditanam merupakan pilihan dan simpulan
atas daya cipta dan rasa. Ketertarikan dan pelibatan langsung dalam melihat dan
merasakan sesugguhnya adalah proses pencapaian pendidikan mencipta.
Sekolah Ideal
Sekolah bukan saja melahirkan human capital sebagai penyedia tenaga kerja
untuk memenuhi kebutuhan industri dan jasa. Sekolah harus menumbuhkan nilai
nilai sosial yang dimutasikan kepada siswa dalam interaksi dan pelibatan sosial.
Membangun social emotional climate bukan saja berada pada lingkungan sekolah
melainkan melibatkan keluarga dan masyarakat di luar sekolah. Dan sekolah
memiliki peran besar menfasilitasi terbangunnya social emotional climate.
Selama proses berlangsungnya pendidikan sekolah memiliki peran dalam
menumbuhkan pencapaian tentu tidak terlepas dari peran pengajar dalam
manajerial sebuah kelas (classroom management) tiga domain capaian harus
memuat seperti yang diungkapkan oleh Bloom, yakni (1) kognitif domain (product
knowledge), berbagai wawasan dan pengetahuan yang dimiliki setelah seeorang
mengalami proses belajar, (2) Afektif domain(attitude), berbagai perilaku baik yang
diharapkan menjadi ukuran keberhasilan pendidikan yang telah dilakukan, (3)
Psikomotorik domain (life skill), berbagai ketrampilan yang akan diperoleh seseorang
setelah mengikuti proses pembelajaran dan pelatihan.
Begitu juga halnya tematik ilmu bidang studi haruslah bersumber dari sumber
yang terdekat dengan lingkungan sekolah. Unsur demografi sangatlah
mempengaruhi dalam menentukan tematik untuk media belajar dan pedagogis.
Misalnya alam dan budaya dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan.
Tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam UU No 20 tahun 2003
mengamanahkan peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa,
berkahlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
Orientasi sekolah sebagai penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan
oleh pemerintah dan swasta haruslah dapat diakses oleh semua warga negara
tanpa diskriminatif didasarkan sratifikasi sosial. Beban pembiayaan yang hanya
dapat di akses oleh kelas menengah atas sebagai prasyarat penerimaan menjadikan
sekolah mengalami disorientasi tujuan sekolah sesungguhnya.
Memasuki tahun 2021 saat pandemi covid-19 masih belum menunjukan titik
kulminasinya setidaknya orang tua lebih awareness dan bijak terhadap pilihan
sekolah untuk tahun ajaran 2021-2022 dan tidak berpandangan menjadikan sekolah
sebagai penghasil human capital semata. Sekolah harus didasari oleh nilai-nilai
luhur budaya bangsa. Sekolah bukanlah brankas tempat sepenuhnya dipercayakan.
Tetapi pelibatan orang tua dan keluarga selama proses pendidikan berlangsung di
sekolah adalah syarat mutlak dalam pencapaian keberhasilan pendidikan.
Apa jadinya jika kaum marjinal tidak dapat terakses di sekolah mahal
Apa jadinya komersialisasi pendidikan adalah digdaya
Apa jadinya jika seluruh waktu dirampas di sekolah
Lalu sesungguhnya pendidikan itu apa? ( Agustian – Ketua Dikdasmen PP/LT-SI)