TATA KRAMA KEPADA ORANG LAIN (RUUI)

SoluSI.info – Pada edisi ini Lembaga Dakwah Syarikat Islam (LDSI) ini akan membahas penjelasan tentang Reglemen Umum Bagi Umat Islam Bab I Pedoman Umum Bagi Kehidupan Sosial (Idjtima’) Bagian kedua Hormat antara satu sama lain.
Seorang muslim di dalam pergaulan satu sama lainnya harus berdasarkan pada tata aturan yang benar. Rasululloh SAW hidup di kota Madinah bergaul dengan masyarakat yang majemuk, berkumpul dari kalangan umat Islam, Nasrani, Yahudi, Atheisme, Dinamisme atau penyembah berhala. Beliau memberikan qudwah atau suri tauladan sebagai sosok rahmatan lil ‘alamiin yaitu berkasih sayang tidak hanya kepada sesama satu keyakinan agama, berbagai keyakinan agama bahkan dengan makluh Alloh yang lain baik hewan maupun tumbuhan. Di dalam Tiga Belas Mabda’ Kepribadian (Jatidiri) Kader Mujahid Syarikat Islam pada nomor dua yaitu Adzilatan ‘ala al Mu’miniin artinya lemah lembut kepada sesama mukmin dan pada nomor tiga yaitu Adzilatan ‘ala al Kaafiriin artinya bersikap tegas terhadap orang-orang kafir ini menjadi guidance atau panduan akhlak yang harus dimiliki kaum Syarikat Islam di dalam pergaulan satu sama lainnya.
Alloh SWT menyampaikan di dalam Al Qur’an tata krama pergaulan yang lengkap untuk memberikan pedoman dalam pergaulan kepada orang lain. Penulis membagi 2 prinsip yaitu pertama larangan-larangan dan kedua anjuran-anjuran di dalam tata krama pergaulan kepada orang lain.

Pertama, larangan-larangan di dalam tata krama pergaulan kepada orang lain.

Laa Yaskhar (janganlah memperolok-olok)
Memperolok-olok yaitu menyebut kekurangan pihak lain dengan tujuan menertawakan yang bersangkutan, baik dengan ucapan, perbuatan, atau tingkah laku. Memperolok-olok antar kaum atau kelompok dapat menimbulkan keretakan hubungan antar mereka, bahkan yang lebih besar dampaknya akan menimbulkan pertikaian. Sebagaimana firman Alloh di dalam Q.S. Al Hujurat: 11.

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٞ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرٗا مِّنۡهُمۡ وَلَا نِسَآءٞ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرٗا مِّنۡهُنَّۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَٰبِۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَٰنِۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Laa Talmizu” (janganlah mengejek)
Talmizu” diambil dari kata al-lamz. Menurut Ibn Asyur bahwa talmizu” dapat diartikan ejekan yang langsung dihadapkan kepada yang diejek, baik dengan isyarat, bibir, tangan, atau kata-kata yang dipahami sebagai ejekan atau ancaman.Ini adalah salah atu bentuk kekurang ajaran dan penganiayaan. Pada Q.S. Al Hujurat: 11 mengandung makna melarang mengejek terhadap diri sendiri, mengandung maksud siapa yang mengejek orang lain maka dampak buruk ejekan itu menimpa si pengejek, bahkan tidak mustahil ia memperoleh ejekan yang lebih buruk daripada yang diejek itu.

Laa Tanabazu (janganlah memanggil dengan panggilan yang buruk)
Tanabazu diambil dari kata an-nabz, yakni gelar buruk. At-tanabuz adalah saling memberi gelar buruk. Gelar buruk atau panggilan buruk biasanya disampaikan secara terang-terangan dengan memanggil yang bersangkutan. Hal ini mengundang siapa yang tersinggung dengan panggilan buruk itu membalas dengan memanggil yang memanggilnya pula dengan gelar buruk sehingga terjadi tanabuz. Menurut M. Quraissh Shihab bahwa Al-Ism pada Q.S. Al Hujurat: 11 diartikan sebutan. Dengan demikian pada Q.S. Al Hujurat: 11 dapat dimaknai: “Seburuk-buruk sebutan adalah menyebut seseorang dengan sebutan yang mengandung makna kefasikan setelah ia disifati dengan sifat keimanan.” Misalnya memperkenalkan seseorang dengan sebutan si Pembobol Bank atau Pencuri. Ada beberapa gelar yang secara lahiriah dapat dinilai gelar buruk, tetapi karena ia sedemikian populer dan penyandangnyapun tidak keberatan dengan gelar itu maka di sini menyebut gelar tersebut dapat ditoleransi oleh agama. Misalnya, Abu Hurairah (bapaknya kucing) nama aslinya adalah Abdurrahman Ibn Shakhr, atau Abu Turab (bapaknya debu dan pasir) untuk Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib yakni seorang pemimpin dengan kesederhanaan, al-A’raj (si Pincang) untuk Abdurrahman Ibn Hurmuz yaitu perawi hadist kenamaan dan al-A’masy (si Rabun) bagi Sulaiman Ibn Mahran.

Laa Zhanniy (janganlah berprasangka)
Alloh SWT berfirman di dalam Q.S. Al Hujurat: 12:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱجۡتَنِبُواْ كَثِيرٗا مِّنَ ٱلظَّنِّ إِنَّ بَعۡضَ ٱلظَّنِّ إِثۡمٞۖ وَ لَا تَجَسَّسُواْ وَلَا يَغۡتَب بَّعۡضُكُم بَعۡضًاۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمۡ أَن يَأۡكُلَ يَأۡكُلَ لَحۡمَ أَخِيهِ مَيۡتٗا فَكَرِهۡتُمُوهُۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ تَوَّابٞ رَّحِيمٞ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

Menurut M. Quraissh Shihab di dalam tafsir Al Misbah bahwa banyak dari prasangka atau dugaan itu dosa dan banyak pula yang bukan dosa. Yang bukan dosa adalah dugaan yang indikatornya jelas, sedangkan yang dosa adalah dugaan yang tidak memiliki indikator yang cukup dan mengantar pada seseorang melangkah menuju sesuatu yang diharamkan, dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Biasanya dugaan yang tidak berdasar dan mengakibatkan dosa adalah dugaan buruk terhadap pihak lain. Ayat ini mengukuhkan bahwa: Tersangka belum dinyatakan bersalah sebelum terbukti kesalahannya, bahkan seseorang tidak dapat dituntut sebelum terbukti kebenaran dugaan yang dihadapkan kepadannya. Bisikan-bisikan yang terlintas di dalam benak tentang sesuatu dapat ditoleransi asal bisikan tersebut tidak ditingkatkan menjadi dugaan dan sangka buruk. Rasul SAW bersabda: “Jika kamu menduga (yakni terlintas dalam benak kamu sesuatu yang buruk terhadap orang lain) maka jangan lanjutkan dugaanmu dengan melangkah lebih jauh” (HR. Ath-Thabarani).

Laa Tajassasu (janganlah mencari kesalahan)
Tajassasu berasal dari kata jassa, yakni upaya mencari tahu dengan cara tersembunyi. Imam Al Ghozali memahami larangan ini dalam arti jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiannya. Setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Jika demikian, jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya. Karena itu di dalam Q.S Al Hujurat:12, disebutkan setelah larangan zhanny atau menduga. Tajassus dalam konteks pemeliharan negara atau untuk menampik mudharat yang sifatnya umum diperbolehkan. Adapun tajassus yang berkaitan dengan urusan pribadi seseorang dan hanya didorong untuk mengetahui keadaannya maka ini sangat dilarang. Imam Ahmad meriwayakan bahwa ada seseorang yang bermaksud mengadukan tetangganya kepada polisi karena mereka sering meminum minuman keras. Namun ia dilarang oleh Uqbah salah seorang sahabat Nabi SAW. Yang menyampaikan bahwa Rasul SAW bersabda: “Siapa yang menutupi aib saudaranya , ia bagaikan menghidupkan seorang anak yang dikubur hidup-hidup” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i).

Laa Yaghtab (janganlah menggunjing)
Yaghtab diambil dari kata ghibah yang berasal dari kata ghaib artinya tidak hadir. Sebagaimana di dalam Q.S Al Hujurat:12, bahwa Ghibah adalah menyebut orang lain yang tidak hadir dihadapan penyebutnya dengan sesuatu yang tidak disenangi oleh yang bersangkutan. Jika keburukan yang disebut itu tidak disandang oleh yang bersangkutan, ia dinamai buhtan (kebohongan besar). Walaupun keburukan yang diungkap oleh penggunjing tadi memang disandang oleh obyek ghibah, ia tetap terlarang.

Kedua, anjuran-anjuran di dalam tata krama pergaulan kepada orang lain.

Ta’aruf (mengenal)
Alloh SWT berfirman di dalam Q.S. Al Hujurat: 13:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ta’aruf terdiri berasal dari kata ‘arafa yang artinya mengenal. Pada ayat di atas mengandung makna timbal balik yang berarti saling mengenal. Semakin kuat pengenalan satu pihak lain kepada selainnya, semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Proses ta’aruf terdiri dari beberapa tahapan. Mulai dari mengenal secara fisik (jasadiyah), seperti badan, suara, tingkah laku, materi, alamat, keluarga, pekerjaan, pendidikan, rumah dan lainnya. Selanjutnya, mengenal kejiwaan (nafsiyah) yang ditekankan kepada upaya memahami kejiwaan seperti: karakter, emosi, dan tingkah laku. Termasuk mengenal pemikiran, kecenderungan, visi dan misi hidupnya. Begitulah, satu manusia dengan manusia lainnya, yang berbeda-beda dari segala sisinya, diciptakan untuk saling mengenal.

Tafahum (memahami)
Menapak pada tahapan berikutnya saling memahami satu dengan yang lainnya. Ini bukan sekedar kenal nama, alamat, fisik dan pemikiran. Namun sudah sampai pada kita memahami kekurangan dan kelebihan saudara kita. Sehingga kita bisa tahu apa yang disukai dan paham mana yang tidak disukai. Sehingga kita bisa menempatkan diri apabila kita bersamanya. Kita akan memaklumi kekurangannya, seraya menutupi aibnya. Bahkan berupaya ikut memperbaikinya. Juga menghormati kelebihannya, mengambil manfaat darinya dengan cara menyampaikannya pada yang lain. Dalam tataran ini, sudah tiada rasa iri, dengki, hasad dan prasangka buruk pada sesama mukmin. Yang ada adalah saling merendahkan diri dan menghargai yang lain. Dalam Kitab Fiqih Adab (Fuad bin Abdil Aziz Asy-Syalhub) dijelaskan bahwa sikap Muslim terhadap Muslim lainnya mestinya saling merendah dan berlemah lembut. Sikap ini dapat mengekalkan ukhuwah Islamiyah di tengah mereka. Sedangkan takabbur dan meremehkan orang lain adalah sebab sebagian di antara umat saling menjauhi dengan sebagian lainnya, yang ini bisa jadi akan merenggangkan ukhuwah Islamiyah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan kita dalam sabdanya:
أَوْحَى إِلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ عَلَى أَحَد
“Allah mewahyukan kepadaku agar kalian saling merendah diri agar tidak ada seorang pun yang berbangga diri pada yang lain, dan agar tidak seorang pun berlaku zalim pada yang lain.” (HR Muslim).

Ta’awun (saling menolong)
Ta’awun ini hanya dapat dilakukan dengan niat yang tulus, hati yang bersih, pemikiran yang jernih, dan amal yang kontinyu. Sehingga yang ada adalah saling membantu antara sesama Muslim dalam kebaikan adalah kebahagiaan tersendiri. Membantu bukan lagi beban dan kebiasaan, tapi sudah merupakan darah daging dan nafas kehidupan setiap Muslim. Bagai satu anggota badan, yang saling menyayangi.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ، وَتَعَاطُفِهِمْ، وَتَرَاحُمِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan kaum mukmin dalam sikap saling mencintai, mengasihi dan menyayangi, seumpama tubuh, jika satu anggota tubuh sakit, maka anggota tubuh yang lain akan susah tidur atau merasakan demam.” (HR Muslim).

Takaful (saling menanggung)
Inilah ketinggian ukhuwah Islamiyah, rasa sedih dan senang diselesaikan bersama. Ketika ada saudara yang mempunyai masalah, maka kita ikut menanggung dan menyelesaikan masalahnya tersebut. Bukan sekedar simpati, tapi lebih ke empati. Bukan semata prihatin dan ikut mendoakan, tapi bergerak mengulurkan tangan, memberi bantuan, memudahkan dan melapangkan urusan.

مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ،

“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan, maka Allah Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat.” (HR Muslim).

Itsar (mendahulukan orang lain daripada diri sendiri)
Ini adalah tingkatan tertinggi dalam tingkatan ukhuwah Islamiyah. Dari kalangan sahabat memberikan teladan, hingga pada tahapan kelima ini, yaitu Itsar, mendahulukan orang lain dari pada diri sendiri. Sebagai contoh, ketika dalam suatu perang, salah seorang sahabat sangat kehausan. Ia hanya tinggal mempunyai satu kali jatah air untuk minum. Saat akan meminumnya, terdengar rintihan sahabat lain yang kehausan. Maka air tersebut ia berikan kepada sahabat yang kehausan itu. Saat mau meminumnya, terdengar sahabat lain lagi yang merintih kehausan. Kemudian ia berikan air tersebut kepada sahabat itu. Begitu seterusnya sampai air tersebut kembali kepada si pemilik air pertama tadi. Akhirnya semua syahid. Juga ketika para sahabat Muhajirin, yang berhijrah dari Makkah ke Madinah. Maka, para sahabat Anshar menyediakan apa yang dimilikinya untuk saudaranya. Cintanya pada saudaranya melebihi cintanya pada dirinya sendiri. Seperti disebutkan di dalam hadits:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman seseorang di antaramu hingga kamu mencintainya seperti kamu mencintai dirimu sendiri.” (HR Bukhari dan Muslim).

Lemah lembut
Kaum muslimin diperintahkan untuk bersikap lemah lembut, terlebih terhadap orang-orang yang baru memeluk islam dan belum sungguh-sungguh kuat imannya. Alloh SWT berfirman di dalam Q.S. Al Hujurat: 14:

قَالَتِ الْأَعْرَابُ آمَنَّا ۖ قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَٰكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ ۖ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Saudara muslim yang masih Awam (baru masuk islam) perlu penjelasan dengan cara yang halus bahwa ciri-ciri orang yang beriman adalah: 1) Beriman kepada Alloh, menyakini semua sifat-sifat-Nya; 2) Menyakini kebenaran Rasul-Nya dalam segala apa yang disampaikannya; 3) Hati mereka tidak disentuh oleh ragu walaupun mereka mengalami aneka ujian dan bencana dan 4) Mereka mau berjihad atau berjuang membela kebenaran dengan mengorbankan harta dan jiwanya dijalan Alloh. Sebagaimana di dalam firman Alloh SWT Q.S. Al Hujurat: 15-16:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar. Katakanlah: “Apakah kamu akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu, padahal Allah mengetahui apa yang di langit dan apa yang di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu?”

Saudara muslim yang masih Awam perlu dijelaskan dengan lemah lembut bahwa keimanan yang kamu lakukan ini bukan untuk Alloh dan Rasul-Nya, namun hakikatnya keimanan yang kamu lakukan ini untuk kamu sendiri dan Alloh yang senantiasa melimpahkan nikmat kepada kamu dengan menunjuki, yaitu menjelaskan dan menganugerahkan kamu kemampuan menuju kepada keimanan jika memang kamu adalah orang-orang yang benar. Sebagaimana firman Alloh SWT di dalam Q.S. Al Hujurat: 17-18:

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا ۖ قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ ۖ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah, Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ghaib di langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kejahatan yang banyak terjadi di masyarakat kebanyakan timbulnya dari kekayaan harta benda yang berlebih-lebihan sehingga dari hal ini biasanya orang mencari kesalahan antara satu sama lain, sehingga kecintaan persaudaraan dan kerukunan sahabat bergantilah dengan benci-membenci satu sama lain. Kejahatan ini akan menimbulkan kerusakan baik moril maupun materiil. Kejahatan yang dilakukan seseorang dikarenakan kurangnya pemahaman akan tata krama pergaulan kepada orang lain, maka diperlukan pengajaran, pendidikan dan pelatihan tata krama pergaulan yang sesuai dengan Al Qur’an dan Sunah Nabi Muhammad SAW pada kaum muslimin khususnya dan masyarakat majemuk pada umumnya.

Oleh: Aris Budiyanto, S.Pd.
Aktif di Pengurus LDSI Banjarnegara,
Mahasiswa Program PascaSarjana UNNES

Bagikan info ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *