
SoluSI.info – Tan Malaka adalah sosok yang cukup “misterius” dalam sejarah Indonesia. Ia adalah tokoh pergerakan, pemikir, sekaligus karya yang juga salah satu tokoh founding fathers bangsa Indonesia. Tan Malaka bergerilya bertahun-tahun dan melakukan gerakan bawah tanah dalam perjuangan melawan melawan pendatang asing di bumi Nusantara.
Tan Malaka adalah sosok yang tak henti-hentinya turut mendesain program-program aksi massa revolusi untuk melawan kaum kolonial. Hampir seluruh pergerakan revolusi untuk melawan kolonial, tak perlu revolusi Bung Karno, pernah “berguru” kepadanya tentang gerakan. Namun, nasib Tan Malaka justru berakhir tragis karena kematian di ujung senjata tentara republik yang ia bela.
Tak hanya itu, Tan Malaka sebagai salah satu sosok legendaris dalam perjuangan kiri Indonesia yang sudah lama lamanya untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari imperialisme asing pernah diusahakan untuk dihapus dari lembaran sejarah Indonesia oleh penguasa Orde Baru. Meski pernah dicap berbahaya oleh rezim, namun kini Tan Malaka telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Berikut ulasan selengkapnya mengenai Tan Malaka , yang lahir pada hari ini, 2 Juni 1897.
Tan Malaka dilahirkan di desa Pandan Gadang, tak jauh dari kecamatan Suliki Kabupaten Limopuluh koto, Payakumbuh, Sumatra Barat pada 2 Juni 1897. Ia dilahirkan dengan nama Ibrahim Bin Rasad. Ibunya bernama Rangkayo Sinah, putri dari salah satu orang yang disegani di desanya.
Ayahnya adalah seorang mantri kesehatan yang pernah bekerja untuk pemerintah daerah setempat dan mendapatkan gaji beberapa puluh gulden setiap bulannya. Di kantor, ayah Tan Malaka pegawai biasa-biasa saja, mengutip dari publikasi oleh Universitas Islam Negeri Surabaya.
Dilihat dari tempat lahir dan situasi sosial bumi Minangkabau ketika ia tumbuh besar, sudah dapat dipastikan Tan Malaka belajar Agama Islam dengan cukup baik. Tan Malaka lahir dalam lingkungan keluarga yang menganut agama secara puritan, taat pada perintah Allah serta menjalankan ajaran Islam.
Tan Malaka kecil juga belajar ilmu silat yang kemudian menjadi bekal dalam hidupnya untuk sekedar membela diri. Saat menginjak usia remaja Tan Malaka juga telah mampu berbahasa Arab dan menjadi guru muda di surau kampungnya. Pendidikan agama Islam begitu membekas dalam dirinya, yang kelak sedikit banyak memberikan warna dalam corak pemikiran Tan Malaka.
Perjalanan Pendidikan Tan Malaka
Tan Malaka mengenyam pendidikan pertama di Sekolah Dasar (SD) yang pada masa itu dikenal dengan Sekolah Rendah (SR) Suliki. Atas saran dari gurunya beliau kemudain melanjutkan studinya ke Sokolah Guru Negri (Kweekschool), Fort de Kock (Bukittinggi) dan lulus di tahun 1913 dengan nilai yang sangat memuaskan.
Seiringan dengan saran dari tuan Horensma, Tan Malaka lalu melanjutkan studinya ke Rijkskwekschool (sekolah pendidikan guru negri) di Belanda.
Kepergiannya ke Belanda dalam rangka studi ini mendahului tokoh-tokoh Indonesia lainnya yang juga sama-sama pernah merasakan studi di negeri itu, misalnya Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Abdul Muis, Abdul Rivai, dikutip dari buku Tan Malaka: biografi singkat 1897-1949 oleh Taufik Adi Susilo.
Studinya ke Belanda ini juga tidak lepas dari jasa gurunya, G.H.Horensma. Horensma juga yang menguruskan dana perjalanan dan belajar Tan Malaka di negeri kincir angin, selain menyumbangkan dana pribadi secara khusus.
Selama awal-awal masa pendidikannya di Belanda, Tan Malaka merasa sulit untuk beradaptasi baik dengan sandang, pangan, budaya, maupun tempat tinggal. Terlebih dengan masalah iklim ataupun cuaca yang jelas sekali sangat berbeda dengan kampung halamannya.
Ketidakmampuannya untuk beradaptasi dengan pangan dan iklim setempat serta tempat tinggal yang kurang layak membuat kesehatannya menurun. Tahun 1915 merupakan tahun di mana puncak kesehatannya sangat menurun dan menyerang paru-parunya.
Dalam otobiografi yang ia tulis sendiri, Dari Penjara Ke Penjara (DPKP), ia menuturkan, 3 bulan sebelum ujian guru Tan Malaka jatuh sakit pleuritus. Pada 1916, kesehatannya semakin parah dan dokter didatangkan untuk mengobati sakitnya.
Dengan surat keterangan dari dokter tersebut, Tan Malaka diizinkan mengikuti ujian oleh direktur Rijkskweekschool. Namun sayang, ia tidak berhasil lulus semuanya. Malah keadaannya semakin memburuk.
Selama berada di Belanda, Tan Malaka banyak bergaul dan dari pergaulannya terutama dengan keluarga induk semangnya –sebuah keluarga buruh– yang hidup agak kekurangan, membuatnya semakin menaruh hormat pada perjuangan buruh, di samping bacaannya sendiri tentang perkembangan dunia saat itu.
Pertemuannya dengan Snouck Hourgronje membuat Tan Malaka bimbang menjadi guru untuk anak-anak Belanda. Apa yang dialami Tan Malaka di Belanda sangat memengaruhi perkembangan pemikirannya. Di sana ia juga mulai mendatangi diskusi-diskusi perdebatan tentang perjuangan pembebasan bangsa tertindas dan membaca brosur terbitan tentang kemenangan revolusi Rusia 1917.
Ia juga bertemu dengan Suwardi Suryaningrat –sekarang dikenal dengan Ki Hajar Dewantara yang memintanya untuk mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda.
Namun yang paling membuatnya berkesan adalah pertemuannya dengan tokoh-tokoh komunis Belanda seperti Henk Snevliet dan Wiessing, saat diskusi politik serta perjuangan kelas. Keinginan membebaskan dan memerdekakan bangsanya dari jajahan Belanda pun muncul.
Setelah mengenyam pendidikan di Belanda selama enam tahun, pada akhir 1919 datang tawaran dari Dr. CW Janssen untuk menjadi guru sebuah perkebunan kuli kontrak di Tanjung Morawa, Deli. Terdorong niat untuk melihat utangnya pada guru Horensma serta pertimbangan dapat mengajar anak bangsanya sendiri, perahulah Tan Malaka ke Indonesia untuk menerima tawaran tersebut.
Tan Malaka pergi ke Belanda untuk sekolah guru, namun ia gagal mendapatkan ijazah diploma guru kepala (Hufdacte), ia hanya mendapatkan ijazah diploma guru (Hulpace). Meskipun demikian, isi kepalanya berbeda dengan Tan Malaka enam tahun silam. Pemikirannya sudah menembus horizon seantero Eropa. Ia membawa satu tekad, perubahan untuk Indonesia.
Sesampainya di Deli, Tan Malaka menemukan situasi yang berkebalikan dalam angannya. Ia melihat buruh-buruh di perkebunan itu hidup tidak layak. Ia menganggap kejamnya sistem kapitalis, sehingga Tan Malaka disebut sebagai “tanah emas,” surga buat kaum tapi tanah keringat air mata maut, untuk kaum proletar dikutip dari buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia dikutip dari buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia.
Tan Malaka, sebagai seorang Inlander yang berniat melakukan perubahan-perubahan. Selama ia bekerja diperkebunan itu (Desember 1919-Juni 1921) ia banyak berselisihan dengan orang-orang Belanda, khususnya tentang sistem pendidikan dan perlakuan yang diterapkan bagi anak-anak kuli kontrak di Tanjung Morawa.
Tan Malaka mencatat dalam buku Dari Penjara Ke Penjara I, memandangnya dengan orang-orang Belanda itu berpusat pada empat permasalahan. Pertama; adalah perbedaan warna kulit, kedua; masalah pendidikan terhadap anak para kuli, Ketiga; masalah yang ditulis dalam surat kabar di Deli, serta keempat; adalah hubungannya sendiri dengan kuli-kuli perkebunan itu.
Keadaan tersebut menantangnya untuk mengaplikasikan ilmu sosialis-komunis yang didapatinya selama belajar di luar negri. Namun, karena situasi dan kondisi di Sumatra dinilai tidak kondusif untuk menjawab tantangan tersebut secara maksimal, Tan Malaka meninggalkan Sumatra dan menuju ke Pulau Jawa.
Perjuangan Pergerakan Tan Malaka
Dipenghujung Februari 1921, Tan Malaka sudah menginjakkan kakinya di Batavia (Jakarta) dan kemudian melanjutkan perjalanannya ke Yogyakarta untuk menemui Sutopo. Dari beliaulah Tan Malaka mengenal tokoh-tokoh pergerakan rakyat dalam SI (Sarekat Islam) seperti Tjokroaminoto, Semaun, dan Darsono, yang kemudian aktif di SI Semarang.
Dengan berbagai relasi barunya ini, Tan Malaka menyadari pentingnya kemungkinan untuk menerapkan ilmu sosialis-komunis. Berbagai pengaplikasian ilmu sosialis-komunis yang diupayakan oleh Tan Malaka untuk membela dan mengangkat martabatnya yang tertindas.
Lakonnya dalam menyebarkan isu kemerdekaan Indonesia membuat Tan Malaka harus menerima konsekuensinya. Pemerintahan Pemerintahan Belanda yang ingin mempertahankan status quo menyadari kehadiran Tan Malaka dengan segala aksinya sebagai suatu ancaman yang cukup berarti.
Sebagai upaya untuk mempertahankan kekuasaan, pada akhirnya pemerintah mengambil tindakan. Tan Malaka ditangkap dan kemudian dibuang ke Belanda. Kaum Komunis Belanda tidak menyia-nyiakan kedatangannya, mengingat besarnya nama dan pengaruhnya, mereka mencalonkan Tan Malaka sebagai anggota majelis Belanda. Sayangnya, beliau tidak dapat menjadi anggota parlemen karena usianya yang terlalu muda.
Pasca pemilihan, Tan Malaka berangkat ke Moskow guna mengikuti Komunis Internasional (komitern) ke-IV. Di sana, dalam kesempatan untuk berpidato, beliau menyampaikan tentang strategi pergerakan Komunis nasional untuk menghadapi kapitalisme. Yang tidak kalah penting adalah bicaranya tentang persatuan antara Komunis dan Pan Islamisme.
Tan Malaka kemudian terpilih menjadi wakil Komitern untuk wilayah Asia Timur. Jabatannya sebagai seorang khusus dari Komite yang simpan untuk menjelaskan strategi-taktik Komiten diberbagai Negara Asia Timur mengharuskan beliau untuk menetap di Kanton.
Setelah menyelesaikan segala macam tanggung jawab di organisasi, beliau mempersiapkan diri untuk berangkat ke Manila, agar Filipina dapat beristirahat dengan total untuk memperoleh kesehatannya. Namun upaya ini terganggu ketika mendapat kabar bahwa PKI merencanakan pemberontakan. Namun, PKI belum cukup matang untuk melakukan pemberontakan.
Setelah sekian lama berkeliling dunia, pada akhirnya Tan Malaka dapat kembali ke negara kelahirannya. Setelah menyelesaikan MADILOG (1942-1943), beliau berhasil mendapatkan pekerjaan di sebuah kantor yang mengurusi Romusha (pekerja paksa di bawah tekanan Jepang).
Seminggu setelah proklamasi kemerdekaan, Tan Malaka mengunjungi Ahmad Subardjo. Teman inilah yang kemudian mengenalkan Tan Malaka kepada beberapa politik Jakarta seperti Sutan Sjahrir, Iwa Kusumasumantri, Buntaran Martoatmodjo, dan Muhammad Hatta.
Selain politik tersebut, Tan Malaka juga dipertemukan dengan Soekarno di rumah dr. Suharto, dokter pribadi presiden pertama Republik Indonesia. Pertemuan kedua tokoh besar ini diperantarai oleh Sayuti Melik, sekertaris pribadi Soekarno.
Dalam perjumpaan dan perbincangan ini Soekarno begitu terpesona oleh pendapat-pendapat Tan Malaka. Soekarno bahkan menyatakan ingin menyerahkan kepemimpinan kepadanya. Pernyataan Soekarno ini jelas bukan sebuah basa-basi atau guyonan semata, apalagi jika mengingat pernyataan tersebut dinyatakan berulang.
Tan Malaka kemudian menceritakan hal ini kepada Subardjo yang kemudian berinisiatif untuk melegalkan janji Soekarno tersebut dalam bentuk tertulis. Inisiatif ini terwujud menjadi kenyataan, tepat pada 1 Oktober 1945, pernyataan politik itupun resmi diluncurkan.
Tan Malaka mengambil inisiatif untuk mengadakan (organisasi) guna mengorganisir perjuangan-perjuangan itu dengan tepat, organisasi ini kemudian dikenal dengan nama Persatuan Perjuangan.
Pada 17 Maret 1945, Sjahrir melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Agar perundingan dengan Belanda berjalan lancar, Persatuan Perjuangan harus bungkam. Oleh karena itu, tokoh-tokoh penting di dalamnya yang tidak mau tunduk pada kebijakan Sjahrir dan dimasukkan ke penjara. Tan Malaka pun kemudian ditangkap dan diresmikan menjadi tahanan politik pemerintah.
Dua tahun kemudian Tan Malaka dibebaskan dari statusnya sebagai tahanan politik karena kesalahannya tidak dapat dibuktikan. Setelah dua bulan kontak bebas, beliau mengadakan Partai Murba, tepatnya pada 7 November 1948.
Di bulan yang sama, Tan Malaka juga mengingatkan akan kemungkinan terjadinya serangan umum yang akan dilakukan Belanda akibat diplomasi yang tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan di antara kedua pihak.
Serangan umum yang dilakukan oleh Belanda memperkuat keyakinannya bahwa jalan perundingan dan mempercayai pihak yang akan usaha yang sia-sia. Perjuangan harus dilakukan dengan mengangkat senjata.
Pada 21 Desember, melalui siaran radio Tan Malaka menyampaikan seruannya kepada rakyat yang kemudian mengakibatkan timbulnya rasa tidak senang dari pihak militer maupun pihak pemerintah (yang lebih memilih cara bernegosiasi dengan sekutu) kepada Tan Malaka.
Tan Malaka berakhir di kaki Gunung Wilis Kediri dengan dieksekusi mati atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi IV Jawa Timur pada 21 Februari 1949 di desa Selopanggung.
Saat itu, Tan Malaka sedang gencar-gencarnya melawan Agresi Belanda dengan Jenderal Soedirman yang berada di Yogyakarta. Keduanya menolak kebijakan diplomasi dari pemerintahan Soekarno-Hatta karena menurut Tan Malaka untuk mencapai merdeka 100 persen bukan dengan jalan diplomasi. Tan Malaka tewas ditangan bangsa yang selama ini ia bela dengan jiwa dan raganya. (sumber : merdeka.com)