KAJIAN REGLEMENT UMUM BAGI UMAT ISLAM “MENYEMAI BENIH BUDI PEKERTI”

(Materi Pengajian Selapanan Ahad Kliwon PAC SI Banjarnegara di Aula DPC SI Banjarnegara, Ahad, 1 Jumadil Akhir 1444 H)

Oleh: Aris Budiyanto*

Jiwa Manusia Fitrah/Suci

Pada diri manusia terdapat “dasar-jiwa” yang melekat pada anak ketika lahir di bumi. Istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli sesuai kodratnya, belum dipengaruhi oleh dunia luar. Ada tiga aliran pemahaman “dasar jiwa” sebagai berikut; pertama, ialah aliran teori rasa yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai kertas yang belum ditulis, sehingga orang tua, guru akan mengisi kertas yang kosong itu menurut kehendaknya. Orang tua, guru berkuasa sepenuhnya untuk membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Kedua, ialah aliran negative theorie, yaitu anak yang lahir di dunia diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, sehingga pendidikan dari siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat mengawasi dan mengamati supaya pengaruh-pengaruh yang jahat tidak mendekati diri anak. Ketiga, ialah aliran yang terkenal dengan nama convergentie-theorie, yang mengajarkan, bahwa anak yang dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi semua tulisan-tulisan itu suram. Pendidikan itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi tebal atau suram. Al-Imam al-Bukhari r.a. meriwayatkan sabda Rasulullohi SAW:

كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ، كَمَثَلِ الْبَهِيْمَةِ تَنْتِجُ الْبَهِيْمَةَ، هَلْ تَرَى فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ؟

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Sebagaimana permisalan hewan yang dilahirkan oleh hewan, apakah kalian melihat pada anaknya ada yang terpotong telinganya?” 

Makna hadits di atas adalah manusia memiliki sifat pembawaan sejak lahir yaitu fitrah/suci di atas Islam. Siapa yang Allah SWT takdirkan termasuk golongan orang-orang yang berbahagia, niscaya Allah SWT akan menyiapkan untuknya orang yang akan mengajarinya jalan petunjuk sehingga dia siap untuk berbuat (kebaikan). Sebaliknya, siapa yang Allah SWT ingin menghinakannya dan mencelakakannya, Allah SWT menjadikan sebab yang akan mengubahnya dari fitrahnya dan membengkokkan kelurusannya. Hal ini berhubungan erat dengan pengaruh yang dilakukan oleh kedua orang tua terhadap anaknya yang menjadikan si anak beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

Potensi Budi Pekerti

Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa “budi” berarti pikiran perasaan-kemauan, sedangkan “pekerti” artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan atau pikiran perasaan-kemauan hingga menjelma sebagai tenaga. Ki Hadjar Dewantara mendefinisikan budi pekerti adalah kemampuan kodrat manusia atau individu yang berkaitan dengan bagian biologis dan berperan menentukan karakter seseorang (Ki Hadjar Dewantara, 1937).

Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) tidak dapat berubah selama hidup. Intelligible dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian ‘bios’ yang tidak dapat berubah ‘perasaan’ yang bermacam-macam dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, rasa malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, rasa dermawan, rasa pemarah, rasa pemaaf dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap pada jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga menjadi orang dewasa. Anak penakut, sesudah mendapatkan pendidikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan berubah wataknya menjadi pemberani, akan tetapi rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah, pelit, dermawan, pemaaf dan sebagainya, selama ia dapat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan sendiri. Alloh SWT berfirman di dalam Al Quran Surat As Syam ayat 7-8.

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ

“Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya. Lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya.”

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa jiwa manusia diciptakan oleh Alloh SWT dalam kondisi sempurna, fitrah/suci yang lurus. Alloh SWT mengilhamkan (menjelaskan dan menunjukkan) dua jalan yaitu kefasikan dan ketaqwaan, kemudian manusia dipersilahkan free will (bebas memilihnya).

Petunjuk Budi Pekerti Utama

Potensi budi pekerti pada diri manusia wajib disyukuri dengan berusaha membimbingnya, mengarahkannya, mendidiknya dan meneladani orang-orang yang memiliki budi pekerti utama atau “Akhlakul Karimah”. “Akhlakul Karimah” adalah akhlak yang baik atau terpuji yaitu suatu norma atau aturan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Alloh SWT telah menunjukan kepada kita bahwa Nabi Muhamad SAW adalah suri tauladan yang baik sebagaimana di dalam Al Qur’an surat Al Ahzab: 21

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ

“Sungguh, pada (diri) Rasulullah SAW benar-benar ada suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah SWT dan (kedatangan) hari Kiamat serta yang banyak mengingat Allah SWT.”

Mengenai akhlak Nabi Muhamad SAW, Siti Aisyah r.a menyatakan:

كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ

Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.”

HOS Tjokroaminoto menyatakan bahwa “Untuk menguatkan tali persaudaraan Islam guna mencapai kebahagian dan membangkitkan budi pekerti yang mulia tentang kesabaran hati dan kedermawanan budi maka kaum muslimin haruslah dengan sekuatnya membelanjakan harta bendanya, menahan amarahnya dan rela memaafkan kesalahan orang lain sebagaimana yang dikehendaki oleh Alloh SWT didalam Al Qur’an surat Al Imran:133.” (HOS Tjokroaminoto, 1934).

Alloh SWT berfirman didalam Al Qur’an surat Al Imran:133

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ

“Yaitu orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang mengendalikan kemurkaannya, dan orang-orang yang memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan”

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Alloh SWT menyebutkan sifat para penghuni surga yaitu; Pertama, الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ artinya “yaitu orang-orang yang selalu berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit” yakni orang yang menafkahkan hartanya pada waktu susah atau senang, dalam keadaan suka maupun terpaksa, sehat maupun sakit dan dalam seluruh keadaan. Firman Alloh SWT Al Qur’an surat Al Baqoroh: 274

اَلَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ سِرًّا وَّعَلَانِيَةً

“Orang-orang yang menginfakkan hartanya pada malam dan siang hari, baik secara rahasia maupun terang-terangan”

Artinya, mereka tidak disibukkan oleh sesuatupun untuk berbuat taat kepada Alloh SWT berinfak dijalan-Nya dan juga berbuat baik dengan segala macam kebajikan, baik kepada kerabat maupun kepada yang lainnya.

Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Abi Hushain, dari seorang yang menyaksikan Nabi SAW ketika beliau sedang berkhutbah, beliau SAW bersabda: “Tahukah kalian siapakah sha’luk (orang miskin itu)? Para sahabat menjawab: ‘yaitu orang yang tidak mempunyai harta kekayaan.’ Maka beliau bersabda: ‘orang yang miskin adalah orang yang mempunyai harta lalu meninggal dunia, sedang ia tidak pernah memberikan sesuatu pun (manfaat) dari hartanya tersebut.”

Kedua, وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ artinya “orang yang menahan amarahnya” yakni jika mereka marah, maka mereka menahannya, yaitu menutupinya dan tidak melampiaskannya. Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِى يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Bukanlah orang kuat (yang sebenarnya) dengan (selalu mengalahkan lawannya dalam) pergulatan (perkelahian), tetapi tidak lain orang kuat (yang sebenarnya) adalah yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah

Rasulullah SAW senantiasa memberi petunjuk kepada orang yang sedang marah untuk melakukan sebab-sebab yang bisa meredakan kemarahan dan menahannya dengan izin Allah SWT di antaranya:

  1. Berlindung kepada Allah SWT  dari godaan setan

Dari Sulaiman bin Shurad beliau berkata: “Ketika aku sedang duduk bersama Rasulullah SAW, ada dua orang laki-laki yang sedang bertengkar dan saling mencela, salah seorang dari keduanya telah memerah wajahnya dan mengembang urat lehernya. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya aku mengetahui satu kalimat yang seandainya dia mengucapkannya maka niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya. Seandainya dia mengatakan: “Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk”, maka akan hilang kemarahan yang dirasakannya”.

  1. Diam

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah maka hendaknya dia diam”.

  1. Duduk atau berbaring

Dari Abu Dzar al-Gifari bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk, kalau kemarahannya belum hilang maka hendaknya dia berbaring”.

  1. Berwudhu

Dari Urwah bin Muhamad berkata: ‘Ayahku menceritakan kepadaku dari kakekuku, Athiyah Ibnu Sa’ad as Sa’di salah seorang sahabat Rasululloh SAW, ia berkata: ‘Rasululloh SAW pernah bersabda: “Sesungguhnya marah itu dari syaitan dan sesungguhnya syaitan itu diciptakan dari api, dan api itu dapat dipadamkan dengan air. Karenanya, jika salah seorang diantara kalian marah, maka hendaklah ia berwudhu.”

Ketiga, وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ  artinya ‘Dan memaafkan (kesalahan) orang” yakni mereka memberikan maaf kepada orang-orang yang berbuat jahat kepadanya.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه، عن رَسُولَ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم قَالَ : مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زادَ اللهُ عَبْداً بعَفْوٍ إِلاَّ عِزّاً، وَمَا تَوَاضَعَ أحَدٌ للهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ.  رواه مسلم وغيره

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah SWT menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya,) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat), serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah SWT kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya (di dunia dan akhirat).’” (HR. Muslim).

Manfaat Memaafkan Seseorang

1.  Hidupnya menjadi lebih tenang dan bahagia

Ketika kita dengan ikhlas memaafkan seseorang, tanpa sadar kita telah mengurangi satu beban dalam hati kita. Seolah-olah beban dalam hati kita luruh bersama kata maaf. Dengan demikian itulah,  tidak ada lagi yang mengganjal dan hati serta pikiran akan merasa tenang.

2.  Tidak memiliki musuh

Memaafkan seseorang sama halnya dengan memberantas musuh. Biasanya ketika memiliki konflik dengan seseorang, kita akan dibenci oleh banyak orang. Maka, dengan memaafkan satu orang, sama artinya membuka pintu damai bagi lebih banyak orang.

3.  Belajar memperbaiki diri dari kesalahan orang lain

Kesalahan orang lain bisa juga dijadikan sebagai kaca untuk bercermin diri kita sendiri agar tidak berbuat kesalahan yang sama. Apabila merasa sakit hati oleh seseorang karena salah satu hal, maka usahakan tidak melakukan hal demikian pada orang lain. Tujuannya agar kita tidak menyakiti hati orang lain, apalagi cara yang sama seperti hati kita disakiti.

4.  Menjadi manusia yang lebih bijaksana

Memaafkan orang lain merupakan salah satu upaya belajar menjadi lebih bijaksana. Sikap yang bijaksana tentu sangat bermanfaat, karena akan berpengaruh dalam cara mengambil keputusan, memilih kehidupan, dan banyak hal lainnya.

*) Penulis adalah Wakil Direktur Pusat Kajian Islam dan Kebangsaan (PeKIK) Kabupaten Banjarnegara

 

Bagikan info ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *